Sabtu, 19 Maret 2011

Nie NoveL..Bkin Gw nangis Bombay..da'ah...


Tuhan..
Andai aku bisa kembali
Aku tidak ingin ada tangisan di dunia ini.

Tuhan..
Andai aku bisa kembali
Aku berharap tidak ada hal lagi yang sama terjadi padaku,
Terjadi pada orang lain 

Tuhan..
Bolehkah aku menulis surat kecil untuk-Mu?

Tuhan..
Bolehkah aku memohon satu hal kecil pada-Mu?

Tuhan..
Biarkanlah aku bisa melihat dengan mataku
Untuk memandang langit dan bulan setiap harinya

Tuhan..
Ijinkanlah rambutku kembali tumbuh, agar aku bisa menjadi wanita seutuhnya

Tuhan..
Bolehkah aku tersenyum lebih lama lagi?
Agar aku bisa memberikan kebahagiaan 
kepadda ayah  dan sahabat-sahabatku...

Tuhan..
Berikanlah aku kekuatan untuk menjadi dewasa
Agar aku bisa memberikan arti hidupku
kepada siapapun yang mengenalku

Tuhan..
Surat kecilku ini
adalah surat terakhir dalam hidupku
Andai aku bisa kembali..

ke dunia yang Kau berikan padaku...
****


https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiaYHJegm2iN-QJT7ohcCcVkvkmv1p_K7CCNv9qvRoUPiHAM8c0SacCihM85hEi5Wc-wFxqcE0FsMn7Mgm6flNNXr4avel-Zesn1SiuTnAQh10VCiAFia6CGInrSH5E18Szk9Jdo5DRNjE/s320/surat+keke.jpg

            Yah, itu adalah isi surat Keke untuk Tuhan dalam Novel surat kecil untuk Tuhan. Novel ini merupakan kisah nyata dari gadis kecil Gita Sesa Wanda Cantika (Keke),  yang ditulis oleh Agnes Davonar. mungkin terlambat untuk mereview novel ini, karena kisah ini sudah cukup lama terjadi dan bahkan sudah ditayangkan di Kick Andy, tapi sayangnya aku baru punya kesempatan untuk membacanya. Itupun karena meminjam koleksi teman kampus (makasih Din, udah mau minjemin aku meskipun karena pemaksaan,^^). Dan hebatnya, novel ini menjadi buku vaforitku semester ini. Four thumbs up!!!

            Novel ini menceritakan tentang perjuangan gadis remaja  dalam melawan kanker ganas, Rabdomiosarkoma (kanker Jaringan Lunak). Membaca novel ini kata per kata membuat aku nangis bombay, bukan hanya sekali tapi berulang kali, dalam setiap sesi perjuangan Keke.
           
            Keke, adalah remaja berusia 13 tahun yang divonis menderita kanker ganas stadium 3 di bagian muka sebelah kiri. Menurut dokter, kasus ini adalah kasus yang langka terjadi pada remaja bahkan mungkin baru pertama ini terjadi di Indonesia. Bayangkan, di usia yang begitu muda, momen dimana remaja mulai mengalami pubertas, beraktualisasi diri, dan merangkai mimpi-mimpi, Keke justru harus berjuang untuk bisa hidup lebih lama. Dunianya yang dulu ceria berubah menjadi lingkaran kesedihan.

            Wajahnya yang dulu cantik, berubah menjadi seperti monster karena kanker itu mulai membengkak dan muncul benjolan di wajahnya. satu cuplikan yang menurut aku menyayat hati dan membuat aku sesenggukan adalah saat ada anak TK yang masih begitu polos mengomentari bentuk wajahnya yang tak beraturan.
"Mama, wajah kakak itu kenapa, seram sekali, seperti monster, Adi jadi takut"

Kehidupan Keke yang dulu aktif harus dibatasi. Voley yang menjadi kegemarannya harus ditinggalkan, karena kondisi tubuhnya yang tidak mendukung dengan semua kegiatan itu.

            Menurut dokter yang menanganinya, satu-satunya cara untuk membunuh sel kanker itu adalah operasi. Parahnya operasi itu akan menghilangkan kulit muka keke, sebagian hidung, tulang pipi dan mata kirinya.  Yang lebih menyedihkan lagi, operasi itu belum tentu berhasil 100%. Dan apabila operasi tidak segera dilakukan, maka kanker itu akan semakin menggerogoti hidupnya, karena dalam waktu 5 hari sel itu akan menyebar.

            Bagi seorang ayah, resiko operasi itu terlalu tinggi tapi dengan konsekuensi yang besar, masa depan Keke. Akhirnya ayahnya berusaha untuk mencari pengobatan alternatif dan berkeliling ke seluruh Indonesia, tapi hasilnya nihil. Mau tak mau ayahnya kembali ke ilmu medis dan menurut dokter, ada satu cara lain yang bisa membunuh kanker itu, kemoterapi.

kemoterapipun dilakukan dalam enam kali tahapan. Dalam waktu sekitar 6 bulan, kemoterapi itu menunjukkan titik terang. Sel Kanker itu telah mati dan benar-benar sudah pergi dari tubuh Keke.

            Sayangnya kebahagiaan itu tidak bertahan lama, Allah punya rencanaNya sendiri. setelah kesembuhannya yang pertama, Kanker itu datang lagi, kali ini dengan lokasi berbeda, di pelipis mata sebelah kanan.

Kali ini, ayahnya mencoba cara yang pertama, berharap bisa membunuh kanker nakal itu. Kemoterapi pun dilakukan lagi, seluruh rambut Keke rontok tak bersisa. Tapi sepertinya kanker itu mulai kebal dengan bahan kimia. kanker itu tetap duduk manis di pelipis kanan Keke.

            Akhirnya ayahnya mencoba pengobatan ke Singapura, disana dokterpun menyarankan untuk operasi. karena desperdo, mereka pun kembali ke Indonesia dengan kondisi Keke yang semakin parah, Kenker itu mulai menyebar ke seluruh tubuh, ke paru-paru, Jantung dan organ-organ lain. satu hal yang membuat aku terharu, dengan kondisi yang begitu parah, semangat belajar Keke sangat tinggi, dia tetap keukeuh untuk sekolah. bahkan disaat tangan dan kakinya sudah tak mampu lagi digerakkan.

            Waktupun berlalu dan kondisi Keke tak juga membaik hingga akhirnya dia harus rawat inap lagi di RSCM dan mengalami koma selama tiga hari. Dalam massa opname itu ada berita yang begitu membanggakan baik untuk Keke, keluarganya maupunn aku, pembaca. Allah memang memberikan cobaan sesuai kemampuan hambaNya. Keke membuktikan semua itu.
"Keke menjadi juara tiga di kelasnya dalam ujian akhir sekolah."
Subhanallah, padahal dengan kondisi yang begitu rapuh, gadis di usianya yang massih begitu muda bisa tetap berprestasi.  Tapi  Allah memang punya skenario sendiri. Keke akhirnya meninggal di usia 15 tahun, tepat pada tanggal 25 Desmber 2006. Semoga dia mendapatkan tempat yang layak di sisiNya, amiin...
***
            Novel ini mengalir. Gaya bahasa yang digunakan memang masih belum begitu enak untuk dibaca, mungkin memang sengaja disesuaikan dengan tokoh utama yang masih remaja sehingga gaya bahasanya "sedikit anak kecil".  Selain itu, hal yang sedikit membuat aku terganggu adalah hubungan Keke dengan pacarnya, Andi yang begitu dekat dan disorot. Mungkin memang Andi mempunyai porsi yang cukup banyak dalam kehidupan nyata Keke, hanya saja menurut aku di usia yang masih remaja, hubungan itu masih terlalu dini. 
Tapi menurut temanku Dina, si empunya buku ini, terlalu dini itu hanyalah teori, kenyataannya pubertas tak mampu mendukung teori itu.

Apapun kelemahan buku ini, kisah ini sangat inspiring. Memaksa kita untuk membuka mata lebih lebar dalam menjalani dan memaknai hidup.

"Ayuk teman-teman, dengan semua anugerah Allah yang diberikan kepada kita, kita optimalkan hidup kita agar lebih bermakna"

Sabtu, 12 Maret 2011

FlashBack... Duh jd Kngen Ma Msa" SKuL dLu....

Kholifah Umar.. duhh Rindunya Pny Pmimpin Kya gni ^__*


Kisah Abu nawas dan Raja


Di Manakah ALLAH bersemayam…?”

                Sungguh tidak benar bila dikatakan kalau Baginda Harun Al Rasyid itu bukan seorang ahli pikir.Hal ini terbukti dari cara beliau berkata, mengajukan pertanyaan dan tahu kapan harus bicara atau diam.Bahkan baginda itu cermat dalam bertindak.
Meskipun Baginda Harun al Rasyid terkenal cerdik, namun beliau tidak segan-segan bertanya apabila memang tidak mengerti.
               

                Suatu contoh saja misalnya ketika Baginda Harun menunaikan ibadah haji.Beliau bertanya dalam hati kenapa orang berputar-putar mengelilingi Ka'bah Baitullah.Padahal orang yang menunaikan ibadah haji adalah tamu Allah.
Kenapa kalau sebagai tamu Allah tidak dipersilahkan masuk ke dalam Baitullah satu persatu.Pertanyaan ini belum terpecahkan hingga Baginda kembali ke Baghdad Irak.
               

                Untuk kesekian kalinya, Abu Nawas dipanggil ke istana untuk menghadap Baginda Raja.Kemudian Baginda bertanya,"Wahai Abu Nawas, apakah arti Ka'bah Baitullah?""Ka'bah Rumah Allah, Paduka yang mulia." jawab Abu Nawas.
"Sebagai apakah orang yang menunaikan ibadah haji itu?" tanya Baginda selanjutnya."Sebagai tamu Allah, Tuanku yang mulia." jawab Abu Nawas.
"Kalau mereka sebagai tamu Allah mengapa tidak dipersilahkan masuk saja ke dalam Baitullah?" tanya Baginda lagi."Baitullah hanyalah sebagai lambang." kata Abu Nawas.
               

                "Kalau begitu dimanakah Allah bersemayam?" tanya Baginda ingin tahu."Di dalam hati orang mukmin.Karena tidak ada suatu ruang yang bagaimanapun luasnya mampu menampung Dzat Allah kecuali hati orang mukmin.Qalbul Mukmin Baitullah (hati orang mukmin adalah rumah Allah)," jawab Abu Nawas menjelaskan.
"Mengapa Baitullah dijadikan kiblat?" tanya Baginda."Untuk memudahkan pemahaman orang awam, Paduka yang mulia." kata Abu Nawas.
"Baitullah itu terlihat mata.Dari itu shalat syariat kiblatnya adalah Baitullah, yang waktunya ditentukan dan dengan bacaan tertentu pula.Sedangkan shalat tharikat kiblatnya hati, waktunya bisa setiap saat dan bacaannya dzikir kepada Allah," Abu Nawas menjelaskan.
Baginda Raja Harun pun puas dengan jawaban Abu Nawas.Bag
.

Kisah Abu Nawas dgn Mimpinya


Abu Nawas Mewujudkan Mimpinya….


Sebuah Kisah Abu Nawas yang cerdik mewujudkan mimpi menjadi kenyataan.

Seandainya saja Abu Nawas mau, maka sudah sejak dulu ia menjadi kaya raya dan hidup makmur bersama anak istrinya.
Karena Abu Nawas berkali-kali memperoleh sepundi penuh uang emas.
Hadiah-hadiah yang melimpah ruah tersebut habis, karena dibagi-bagikan kepada orang-orang yang sangat memerlukan.

Abu Nawas memang dikenal sebagai orang yang suka membela orang-orang yang lemah dan tertindas.
Suatu hari ada seorang laki-laki yang mengadukan nasibnya yang amat buruk.

Tak seorang pun berani menolong karena masalahnya melibatkan penguasa yaitu seorang hakim.
Maka ia disaranka agar minta tolong kepada Abu Nawas.

Laki-laki itu bercerita kepada Abu Nawas.
"Ketika tidur aku bermimpi berdagang dengan Tuan Hakim.
Aku membeli dagangan beliau dengan jumlah yang amat besar hingganilainya mencapai ribuan dinar.
Namum ketika aku melakukan pembayaran aku terjaga," kata laki-laki itu.

"Lalu apa masalahmu?" tanya Abu Nawas.

"Kemudian aku menceritakan mimpiku itu kepada teman dan tetangga.
Dan tak kusangka-sangka mimpiku itu tersebar kemana-mana.
Ketika Tuan Hakim mendengarnya, dia langsung ke rumah mencariku dan meyita rumahku dan isinya.
Dia tidak peduli walaupun itu hanya terjadi dalam mimpi.
Karena aku dianggap melanggar hukum.
Menurut dia, mestinya aku segera melaporkan tentang mimpiku kepadanya kemudian langsung melakukan pembayaran.
Kini aku sudah tidak mempunyai apa-apa lagi.
Tolonglah aku Wahai Abu Nawas...," laki-laki itu bercerita.

Abu Nawas gemas mendengar pengaduan laki-laki itu.
Ia menyanggupi akan membantu laki-laki itu dan berjanji akan mengembalikan semua kekayaan yang telah dirampas oleh Hakim dengan semena-mena.

Abu Nawas mengumpulkan seluruh murid-muridnya.
"Kita wajib membantu orang yang memang memerlukan pertolongan.
Besok tepat setelah shalat subuh kita hancurkan rumah hakim yang terkenal zalim itu.
Sekarang siapkan peralatan yang dibutuhkan," kata Abu Nawas dengan serius.

Murid-murid Abu Nawas menyiapkan segala sesuatunya tanpa membantah sedikit pun.
Setelah mengerjakan shalat jamaah subuh, Abu Nawas bersama-sama muridnya berangkat menuju rumah Hakim.
Dan tanpa perintah lagi mereka mulai menggempur rumah Hakim.
Tuan Hakim yang sedang tidur lelap tiba-tiba terbangun karena kegaduhan itu.

Karena jumlah murid Abu Nawas yang begitu banyak, tuan Hakim tidak berani mencegah.
Ia berlari menuju istana untuk melaporkan kepada Baginda Raja Harun Al-Rasyid.
Abu Nawas pun segera dipanggil menghadap Baginda.

"Wahai Abu Nawas, benarkah engkau dan murid-muridmu ingin merobohkan rumah tuan Hakim?" tanya Baginda.
"Benar Tuanku yang mulia," jawab Abu Nawas.
"Apa yang menyebabkan engkau berbuat begitu?
Bukankah engkau tahu bahwa perbuatan seperti itu tergolong tindakan pidana dan bisa dihukum?" tanya Baginda.

"Baginda yang mulia, sebenarnya yang menyebabkan hamba nekat berbuat begitu hanya karena mimpi," kata Abu Nawas menjelaskan.
"Hanya karena mimpi?" tanya Baginda hera.
"Betul Tuanku yang mulia," jawab Abu Nawas.

"Mimpi apa?" tanya Baginda penasaran.
"Hamba bermimpi telah membeli rumah tuan Hakim.
Hamba merencanakan rumah tuan Hakim yang telah hamba bayar itu untuk dijadikan masjid.
Dari itulah hamba memerintahkan murid-murid hamba untuk merobohkannya," jelas Abu Nawas.

"Undang-undang yang mana yang membenarkan perbuatyan seperti itu hai Abu Nawas?" kata Baginda mulai marah.
"Undang-undang yang dirancang oleh tuan Hakim sendiri, Baginda junjungan hamba," jawab Abu Nawas meyakinkan.
"Apa maksudmu?" tanya Baginda belum mengerti.

Abu Nawas lalu bercerita tentang nasib laki-laki yang malang itu.
Mendengar cerita Abu Nawas, Baginda Raja naik pitam.
"Ini betul-betul perbuatan yang tidak masuk akal.
Hai Hakim, benarkah apa yang diceritakan Abu Nawas?" tanya Baginda kepada hakim itu.

"Sepenuhnya benar Tuanku yang mulia," jawab tuan Hakim dengan tubuh gemetar.
"Engkau sebagai hakim mestinya tidak melanggar undang-undang.
Engkau seharusnya menjaga dan menerapkan undang-undang dengan baik dan adil.
Namun engkau dengan kekuasaan yang aku berikan malah merobek-robek keadilan dengan melakukan penyitaan harta orang lain hanya karena mimpi," murka Baginda kepada hakim.

"Ampun Baginda yang mulia," jawab Hakim.
"Itu adalah perbuatan yang paling memalukan yang pernah aku dengar.
Sekarang engkau harus mengembalikan semua harta dan rumah yang engkau sita kepada laki-laki itu," murka Baginda lebih lanjut.

Di samping harus mengembalikan harta dan rumah, tuan Hakim yang zalim itu juga mendapat hukuman dari Baginda Raja.
Abu Nawas telah mewujudkan mimpinya menjadi kenyataan.
Hakim yang jahat.
Kok bisanya membuat undang-undang sendiri.
Memang berlian harus digosok dengan berlian.

ProfiL Gie.. sang Demonstran


Gie….”
            Pengantar: Gie.. Buah" Pmikirannya akn trus hDup. Mskpun sdah tiada, tapi di usianya yang relatif pendek itu, ia melakukan dan berbuat sesuatu yang luar biasa. Seluruh tulisan saya comot dari Majalah . http://www.femina-online.com/images/blank_10px.gif
Ketika Mira Lesmana dan Riri Riza menggarap film Gie, Soe Hok Gie, sudah 36 tahun terlelap dalam tidur abadinya. Buku hariannya Catatan Harian Seorang Demonstran sudah 10 tahun menghilang dari toko buku.

            Wajar saja jika pertanyaan “Siapa Soe Hok Gie? akan dijawab orang berbeda-beda. Di mata mahasiswa ia adalah seorang demonstran tahun 60-an. Namun di mata pecinta alam dia adalah anak Mapala UI (Mahasiswa Pecinta Alam Universitas Indonesia) yang tewas di Semeru tahun 1969.

            MELAMUN DI ATAS GENTING
“Gila! Umur 14 tahun dia sudah baca bukunya Gandhi, Tagore (Rabindranath Tagore, filsuf India-Red). Saya mungkin perlu waktu 10 tahun untuk bisa mengejar, puji Nicholas Saputra tentang Gie.

“Saya sering mendapatinya asyik membaca di bangku panjang dekat dapur, kenang kakaknya, sosiolog Arief Budiman yang kini menetap di Australia. Kakak perempuannya Dien Pranata punya kenangan berbeda. Ketika anak-anak sebayanya asyik mengejar layangan, Gie malah nongkrong di atap genting rumah. “Matanya menerawang jauh, seperti mencoba menyelami buku-buku yang dibacanya.

Selain membaca, Gie juga suka menulis buku harian. Sejak usia 15 tahun, setiap hari, ia menulis apa saja yang dialaminya. Catatan harian pertamanya bertanggal 4 Maret 1957, ketika ia masih duduk di kelas 2 SMP Stada. Catatan terakhir bertanggal 10 Desember 1969, hanya seminggu sebelum kematiannya.

BERANI MENGKRITI
            Di zaman Gie, kampus menjadi ajang pertarungan kaum intelektual yang menentang atau mendukung pemerintahan Bung Karno. Sepanjang 1966-1969 Gie berperan aktif dalam berbagai demonstrasi. Uniknya ia tak pernah menjadi anggota KAMI, organisasi yang menjadi lokomotif politik angkatan 66.

            Gie lebih banyak berjuang lewat tulisan. Kritiknya pada Orde Lama dan Presiden Soekarno digelar terbuka lewat diskusi maupun tulisan di media masa. Ketika pemerintahan Soekarno ditumbangkan gerakan mahasiswa Angkatan 66, Gie memilih menyepi ke puncak-puncak gunung ketimbang menjadi anggota DPR-GR.

            Sebagai anak muda, walaupun suka mengkritik dan doyan menyendiri, Gie ternyata sangat “gaul. “Penampilannya, biasa aja. Tapi kenalannya orang berpangkat dan nama-nama beken. Saya tahu, karena sering ikut dia. Misalnya saat ambil honor tulisan di Kompas atau Sinar Harapan. Nggak terbayang dia bisa kenalan dengan penyair Taufik Ismail dan Goenawan Mohamad! “, kata Badil.

            TEWAS DI PUNCAK SEMERU
“Saya selalu ingat kematian. Saya ingin ngobrol-ngobrol, pamit, sebelum ke Semeru, begitu penggalan catatan harian Gie, Senin, 8 Desember 1969. Seminggu setelah itu, ia bersama Anton Wiyana, A. Rahman, Freddy Lasut, Idhan Lubis, Herman Lantang, Rudy Badil, Aristides Katoppo berangkat ke Gunung Semeru.

            Siapa mengira, itulah terakhir kalinya mereka mendaki bersama Gie. Tanggal 16 Desember 1969, sehari sebelum ulangtahunnya ke 27 Gie dan Idhan Lubis tewas saat turun dari puncak karena menghirup uap beracun. Herman Lantang yang berada di dekat Gie saat kejadian melihat Gie dan Idhan kejang-kejang, berteriak dan mengamuk. Herman sempat mencoba menolong dengan napas buatan, tapi gagal.

            Musibah kematian Gie di puncak Semeru sempat membuat teman-temannya bingung mencari alat transportasi untuk membawa jenazah Gie ke Jakarta. Tiba-tiba sebuah pesawat Antonov milik AURI mendarat di Malang. Pesawat itu sedang berpatroli rutin di Laut Selatan Jawa, Begitu mendengar kabar kematian Gie, Menteri Perhubungan saat itu Frans Seda memerintahkan pesawat berbelok ke Malang. “Saat jenasah masuk ke pesawat, seluruh awak kabin memberi penghormatan militer. Mereka kenal Gie!, kata Badil.


            Jenasah Gie semula dimakamkan di Menteng Pulo. Namun pada 24 Desember 1969, dia dipindahkan ke Pekuburan Kober Tanah Abang agar dekat dengan kediaman ibunya. Dua tahun kemudian, kuburannya kena gusur proyek pembangunan prasasti. Keluarga dan teman-temannya, memutuskan menumbuk sisa-sisa tulang belulang Gie.

“Serbuknya kami tebar di antara bunga-bunga Edelweiss di lembah Mandalawangi di Puncak Pangrango. Di tempat itu Gie biasa merenung seperti patung, kata Rudy Badil.